Jakarta-eskoncer.com- Minggu (02/11/2025).
Suara melengking “Whoosh” yang dulu digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia, kini bergema dalam nada berbeda. Di balik kecepatan 350 km/jam dan kebanggaan nasional atas hadirnya kereta cepat pertama di Asia Tenggara, tersimpan persoalan yang jauh lebih lambat untuk diselesaikan: utang yang menumpuk, dan siapa yang harus menanggungnya.
Dari Ambisi ke Realita
Ketika proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) diresmikan pada era Presiden Joko Widodo, publik menyambutnya sebagai tonggak sejarah. Inilah bukti nyata bahwa Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara maju dalam membangun infrastruktur berteknologi tinggi.
Namun, setelah euforia peresmian mereda, beban finansial mulai terasa di neraca keuangan PT Kereta Api Indonesia (Persero) — sang nakhoda proyek.
KAI, melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), memimpin konsorsium Indonesia dalam PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Kini, posisi itu menempatkan KAI di tengah badai finansial. Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, tak segan menyebut proyek tersebut sebagai “bom waktu”.
“Kami dalami juga masalah KCIC, ini bom waktu,” ujar Bobby dalam rapat dengan Komisi VI DPR, Agustus 2025 lalu.
Pernyataannya menggambarkan beban yang tak kecil: dalam enam bulan, beban keuangan KAI melonjak Rp 1,2 triliun, sebagian besar berasal dari proyek Whoosh. Proyeksi DPR bahkan lebih mengkhawatirkan — utang KAI bisa menembus Rp 6 triliun pada 2026 jika restrukturisasi tak segera dilakukan.
Siapa yang Bayar, Siapa yang Lepas Tangan
Meski publik khawatir proyek ini bakal menyeret keuangan negara, pemerintah bersikap tegas.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menegaskan bahwa APBN tak tersentuh oleh beban utang kereta cepat.
“Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung tidak ada utang pemerintah di situ,” ujarnya.
Proyek ini sejak awal dijalankan dengan skema business to business (B2B) — kolaborasi antara konsorsium Indonesia dan China, tanpa jaminan atau dana langsung dari pemerintah. Dalam teori, model ini ideal: risiko ditanggung oleh pelaku usaha, bukan negara. Namun, dalam praktik, BUMN seperti KAI tak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang publik — ketika rugi, beban akhirnya tetap kembali ke negara melalui holding dan penyertaan modal.
Rugi Menahun, Holding Turun Tangan
Data keuangan KAI menunjukkan tekanan yang nyata. PSBI mencatat rugi Rp 4,19 triliun sepanjang 2024, dan kembali minus Rp 1,62 triliun pada paruh pertama 2025.
Tak heran, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) — holding BUMN yang kini menaungi KAI — harus turun tangan mencari jalan keluar.
Chief Operating Officer Danantara, Dony Oskaria, menilai secara operasional KAI masih sehat. EBITDA perusahaan positif. Namun, ekuitas terlalu kecil dibanding nilai pinjaman proyek, membuat posisi keuangan rentan.
Dony menyebut beberapa opsi terbuka: penambahan modal ekuitas, atau menjadikan sebagian infrastruktur KCIC sebagai aset negara lewat skema Badan Layanan Umum (BLU).
“Kita ingin KCIC-nya tetap berjalan baik, dimanfaatkan masyarakat, tapi di sisi lain KAI juga harus tetap sehat,” ujarnya.
Pemerintah Jaga Jarak, Tapi Tetap Mengawasi
Sikap pemerintah, sejauh ini, masih berhati-hati.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang juga dewan pengawas Danantara, menegaskan tak ada kewajiban negara membayar utang proyek Whoosh.
“Posisi pemerintah jelas. Dalam perjanjian dengan China, tidak ada klausul yang menyebut pemerintah harus membayar,” kata Purbaya.
Namun, di balik ketegasan itu, tersirat kehati-hatian. Purbaya membuka ruang bagi Danantara untuk membantu pembayaran cicilan utang sekitar Rp 2 triliun per tahun, dengan memanfaatkan dividen BUMN yang mencapai Rp 90 triliun setiap tahun.
Secara teknis, bukan APBN yang menanggung, tapi tetap uang publik dari hasil usaha BUMN negara.
Purbaya juga menyoroti perlunya peninjauan klausul perjanjian dengan China Development Bank (CDB), memastikan tidak ada celah yang membuat tanggung jawab finansial beralih ke pemerintah.
“Yang penting, struktur pembayarannya jelas. Kalau itu clean, CDB tidak akan mempermasalahkan siapa yang membayar,” jelasnya.
Antara Gengsi dan Beban
Kasus Whoosh membuka bab baru dalam perdebatan klasik pembangunan infrastruktur Indonesia: antara ambisi dan kemampuan bayar.
Proyek mercusuar seringkali menjadi simbol keberhasilan politik dan kebanggaan nasional, tapi di baliknya, perhitungan finansial kerap terlambat menyesuaikan kenyataan.
Skema B2B yang dulu menjadi tameng agar negara tak menanggung risiko kini diuji. Sebab, pada akhirnya, BUMN tetap entitas milik negara. Ketika mereka kesulitan, negara tak bisa sekadar menonton.
Akhir Jalur Masih Panjang
Kini, arah penyelamatan proyek Whoosh tengah dikaji ulang. Pemerintah menunggu hasil studi KCIC, Danantara menyiapkan berbagai opsi, dan KAI berusaha menjaga likuiditas sambil tetap mengoperasikan layanan publik lainnya.
Namun satu hal pasti: proyek ini bukan sekadar soal kecepatan transportasi, tetapi juga tes bagi manajemen risiko dan tata kelola proyek strategis nasional.
Jika Whoosh melaju tanpa memperhatikan keseimbangan finansial, maka laju kencang itu bisa berujung pada perlambatan panjang di keuangan negara.
Analisis Singkat:
Kasus KCIC menjadi refleksi penting bagi model pembiayaan infrastruktur masa depan. Skema B2B tidak otomatis bebas risiko fiskal, terutama jika salah satu pihak dalam konsorsium adalah BUMN. Transparansi, tata kelola keuangan, dan kejelasan kontrak menjadi kunci agar proyek strategis tak berubah menjadi “bom waktu” di masa mendatang.
Ben







